Allah!!, begitulah teriakan salah seorang teman yang menahan pedihnya jalur pendakian, dengan dengkul dan tangan yang menempel di tanah pada jalur pendakian curam berpasir dengan kemiringan sekitar 75 derajat ditambah kabut hitam dan hujan. Bahkan saya sendiri yang sudah pernah mendaki puncak tertinggi di pulau Jawa merasa kesulitan dengan jalur pendakian gunung Guntur.
Kisah ini bermula ketika kami melakukan pendakian ke gunung Guntur yang terletak di Garut, Jawa Barat. Kami yang tergabung dalam 1 kelompok pencinta alam, rutin mendaki gunung setiap beberapa bulan, setelah pendakian terakhir kami ke gunung Semeru, sasaran kami selanjutnya adalah gunung Guntur. Gunung Guntur adalah gunung yang memiliki ketinggian sekitar 2.249 meter di atas permukaan laut (mdpl), terletak di wilayah barat Garut, Jawa Barat. Gunung Guntur merupakan salah satu gunung berapi yang paling aktif pada tahun 1800-an. Namun sekarang aktivitasnya sudah menurun.
Daftar Isi:
Keberangkatan
Perjalanan akan kami tempuh menggunakan bis dari terminal kampung rambutan, kami berangkat sekitar pukul 23.00 WIB. Waktu perjalanan sekitar 4 jam yang berarti kami akan sampai sebelum subuh.
Kami janjian bertemu di mesjid terminal, di sana saya berkenalan dengan anggota baru, sebut saja A. Mr A ini ternyata adik kelas saya di kampus, dia ikut kelompok kami diajak oleh temannya yang ikut mendaki gunung Semeru bersama kami.
Pendakian kami ini sedikit berbeda dengan pendakian kami sebelumnya, biasanya teman saya yang berperan sebagai leader sekaligus pemandu biasanya sudah pernah naik sebelumnya. Namun kali ini, tidak ada satupun dari kami yang pernah mendaki gunung Guntur.
Masih ingat kisah saya bertemu dengan TR di gunung Cikuray? Saya meminta bantuan dia untuk memandu kelompok kami. Untungnya TR bersedia untuk mengantar kami sampai atas, janji pun dibuat, kami sepakat bertemu di alun-alun kota garut.
Perjalanan dengan bis malam berjalan seperti biasa, lantunan lagu pantura khas bis malam terdengar sepanjang malam. Sebelum tertidur, saya ingat bahwa kondisi bis masih cukup lenggang, bangku belum terisi seluruhnya, namun menjelang malam hari tiba-tiba saya terbangun dan melihat pemandangan yang cukup membuat saya mengernyitkan dahi, banyak penumpang yang entah naik darimana memenuhi ruang bis, bahkan sampai duduk disepanjang lorong bis. Ternyata di tengah jalan, banyak penumpang gelap, yaitu penumpang yang naik tanpa membeli tiket dari P.O bis tapi membayar langsung ke sopir. Praktek ini jelas merugikan penumpang resmi, karena lorong jadi semakin sempit. Namun akhirnya saya kembali tertidur dan bangun ketika sudah waktunya makan.
Makan malam yang biasanya dilakukan di restoran atau rumah makan yang memiliki kerjasama bisnis dengan P.O bis. Namun kali ini makan malam dilaksanakan di pool bis tersebut, “bener-bener ga mau rugi ini perusahaan, udah bayar tiket, makan juga dipaksa beli ke dia lagi” itulah yang ada dipikiran saya waktu itu. Dalam perjalanan, saya ditugasi menghubungi TR ketika sudah sampai. Kurang lebih sekitar pukul 03.00 WIB kami sampai di alun-alun garut, sampai sana saya langsung menghubungi TR untuk menjemput kami dan kami beristirahat di masjid agung Garut.
Sambil menunggu waktu sholat subuh, kami berbincang dengan TR dan temannya mengenai perjalanan kami ke gunung Guntur, ternyata TR dan temannya juga berencana akan naik di hari yang sama dengan kami, “syukurlah berarti kami tidak begitu ngerepotin karena sekalian jalan”, begitu pikir saya.
Perjalanan kami mulai sekitar pukul 07.00 WIB, setelah sarapan, kami mencarter angkot sampai pos jalur Citiis. Sesampainya di pos kami mengurus administrasi, lalu setelahnya kami langsung jalan-jalan. Ternyata untuk sampai ke jalur pendakian, kami harus melewati jalan berliku menanjak yang cukup tajam. Untungnya kami dapat tumpangan dari truck pengangkut pasir, ya daerah gunung Guntung merupakan daerah penambang pasir, itulah yang membedakannya dari daerah pegunungan lain yang biasanya didominasi oleh tanaman hijau.
Perjalanan menggunakan truck memakan waktu kurang lebih 45 menit. Tidak disangka, didalam truck pasir saya bertemu dengan teman SMA saya yang sudah sekitar 4 tahun tidak bertemu, kamipun melepas kangen sambil bertukar cerita sebelum akhirnya berpisah kembali. Galian pasir menghiasi pemandangan kami disepanjang jalan, tidak terbayang sulitnya perjalanan jika tidak menumpang truck pasir. Kami turun dari truck setelah melewati kawasan pertambangan paling akhir, lalu lanjut memasuki jalur pendakian.
Mulai mendaki
Pada awalnya perjalanan terasa lancar, medan yang kami lewati masih dalam kategori standar, di pinggir jalan terlihat beberapa warung yang menyediakan makanan bagi para pendaki yang lapar. Perjalanan kami lanjutkan terus, suhu yang panas berdebu dan pohon yang jarang membuat mendaki gunung Guntur terasa seperti mendaki di gurun pasir. Di tengah perjalanan, kami berhenti sejenak untuk beristirahat karena capek. Posisi kami tidaklah rata, ada beberapa anggota yang berjarak rapat, ada juga yang cukup jauh dibelakang namun masih dalam pandangan mata karena jalurnya yang lurus menanjak.
Rutinitas jalan dan istirahat ini terjadi beberapa kali sampai akhirnya saya tidak melihat teman-teman saya lagi, waktu itu saya terpisah dengan 2 orang teman. Kami berdiskusi dan akhirnya yakin kalau teman-teman yang lain sudah jalan duluan, lalu kami memutuskan untuk lanjut jalan ke atas.
Persediaan air yang kami bawa semakin menipis dan kami belum bertemu rombongan, diantara kami tidak ada yang membawa tenda. Kami yang tetap yakin kalau teman-teman berada di atas memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, sampai akhirnya terdengar suara sayup-sayup dari belakang :”lis lis lis, wooy lis” ternyata salah satu teman yang memiliki stamina paling baik datang menyusul seraya bilang “lu ngapain jalan terus, anak-anak pada istirahat di sumber air”. Entah bagaimana ceritanya kami bisa yakin kalau yang lain sudah jauh di depan, ternyata kami bertiga yang sebenarnya meninggalkan rombongan, akhirnya kami bertiga putar arah menuju sumber air atau pos 2. Ini merupakan tempat pengisian air terakhir, saya langsung bergegas untuk cuci muka disumber air, satu-satunya tempat sejuk di gunung Guntur yang tandus, Saya bagaikan menemukan oase di tengah gurun pasir. Disini kami istirahat sholat dan makan, setelah itu kami tidur siang sejenak. Kurang lebih sehabis ashar jam 16.00 WIB kami melanjutkan perjalanan, di pos inilah kami berpisah dengan TR yang sudah bersedia mengantar, dia berpisah dan berjalan dengan teman-temannya. Suhu sudah mulai terasa sedikit dingin, jauh berbeda dengan suhu panas tadi siang.
Sepanjang mata memandang yang ada hanyalah dataran tandus, di tengah perjalanan kami mendengar sayup-sayup suara memanggil dari belakang, ternyata itu adalah teman kami yang menyusul, perjalanan terasa lebih ringan sejak teman kami datang, teman kami itu memang biasa membawa barang kelompok, kebetulan juga salah satu teman mengalami sakit, jadi barang bawaannya bisa dibawakan yang lain.
Neraka dimulai
Neraka dimulai, begitulah kira-kira kalimat yang pas untuk menggambarkan apa yang terjadi setelah ini, karena hari mulai gelap, 2 teman kami yang memiliki stamina lebih langsung bergegas ke puncak untuk memasang tenda, sementara sisanya jalan seperti biasa, waktu itu teman saya yang baru datang sebut saja si man. Man ini diibaratkan sebagai porter, jalannya lemot tapi staminanya badak. Si man ini bawa tas ransel, beratnya lumayan, minusnya karena strap nya tidak bisa di setel. Jadi saya yang pada awalnya membawa 2 tas, 1 carrier besar di belakang dan 1 tas kecil di depan, menjadi membawa 3 tas, 1 carier dan 1 tas kecil di belakang, tas ransel di depan. Pada awalnya perjalanan terasa lancar, sampai akhirnya medan menanjak dgn kemiringan 75 derajat mulai saya rasakan. Beban yang saya bawa tidak seimbang, ransel di depan menggelayut karena tidak ada strap. Siang mulai berganti dengan malam, hujan rintik rintik mulai turun, kabut hitam juga mulai datang. Jujur, saya sendiri merasa takut dengan kondisi demikian, saya pada kondisi jika keseimbangan saya goyang, saya jatuh kebelakang dan terguling, maka saya mungkin tidak akan kembali. Jarak pandang ke depan dan belakang cuma sekitar 2 meter. Paling belakang berisi para perempuan ditambah 1 orang perempuan yang sakit dan dikawal oleh pria-pria macho termasuk leader dan porter kami, oh iya di belakang juga ada anggota baru si Mr A. Saya yang sudah tidak bisa melanjutkan perjalanan beresiko dengan beban yang tak seimbang akhirnya duduk menunggu man datang. Kondisi teman saya sudah mulai membaik, akhirnya tasnya dia bawa sendiri, lalu tas man saya kembalikan, jadi akhirnya beban saya kembali seimbang.
Udara terasa makin dingin dan kabut yang semakin tebal membuat saya tidak sabar untuk sampai puncak, kondisi fisik yang semakin menurun tidak membuat saya menyerah, saya lanjut jalan terus ke depan. Jarak pandang yang buruk ditambah headlamp murahan yang saya pakai, membuat perjalanan semakin sulit. Sudah tidak terhitung berapa kali dengkul saya menyentuh tanah, saya sampai pada titik dimana saya mulai mengingat ibu saya di rumah dan segala kenyamanan rumah. Dari belakang terdengar rintihan suara “lis, puncaknya udah keliatan belom?” ‘Belooom’, “Allah!!” tedengar teriakan duka teman saya yang berada pada kondisi sangat memprihatinkan. Puncak tidak kunjung terlihat, cahaya pun tidak ada, ketika saya menoleh kebelakang yang saya dapati hanyalah kabut tebal tanpa terlihat tanda-tanda teman saya. Saya benar-benar ketakutan, saya tidak tau kapan akan sampai puncak, maju dengan kondisi lelah secara fisik dan mental bukanlah pilihan bagus, akan tetapi kembali juga tidak mungkin, saya sudah tidak menemukan teman saya. Air mata sudah mulai berkumpul di kelopak mata, hanya tinggal menunggu timing yang tepat untuk turun membasahi pipi.
Untungnya sayup-sayup terdengar suara dari atas memanggil-manggil kami, “lis lis lis lis” begitu kurang lebih. Samar-samar terlihat cahaya headlamp jauh di atas sana. Ternyata itu adalah teman saya yang memanggil dari puncak, dia orang yang tadi bertugas mendirikan tenda. Dengan menggunakan sisa-sisa tenaga terakhir, saya bergegas menuju ke puncak, perjalanan terakhir tidaklah semulus yang dibayangkan, saya terjatuh sampai terpentok batu karena berlari. Suara panggilan dan cahaya headlamp dari puncak membuat semangat saya bangkit kembali, secercah harapan bisa merubah segalanya. Saya seperti berada dalam terowongan gelap tak berujung, lalu tiba-tiba melihat cahaya muncul dari ujungnya.
Sampai di puncak
Sesampainya di puncak yang pertama saya lakukan adalah bernafas lega dan meminum minuman panas, setelah itu saya langsung bersembunyi di dalam tenda dan menunggu makanan siap. Saya yang tidak kuat udara dingin memilih kerja pada pagi hari, ga masalah saya pagi nyiapin makan, asal jangan pas malem yang dingin. Pemandangan terlihat indah, dari puncak terlihat bintang bertaburan di langit. Sayangnya pemandangan tersebut tidak berlangsung lama karena kabut hitam kembali turun dan menghalangi jarak pandang kami.
Paginya kabut masih tebal sehingga kami tidak dapat momen sunrise yang biasa menjadi incaran pada pendaki. Melihat matahari terbit dengan jelas merupakan salah satu tujuan dari mendaki gunung. Gunung guntur memiliki 3 puncak, puncak 1 adalah lokasi kami sekarang, tempat yang biasa digunakan untuk berkemah karena tempat yang datar dan pemandangan cukup bagus. Walau tidak dapat sunrise, kami tetap semangat untuk mendaki puncak 2. Perjalanan kurang lebih 20-30 menit dari camp kami, tidak lupa kami mengunci tenda sebelum berangkat, karena dari gosip yang kami dengar, kadang terjadi pencurian disini, bahkan bisa sampai diangkat, bayangkan saya jika kami kembali tapi tenda kami lenyap beserta isinya.
Sesampainya di puncak 2, kami melakukan foto-foto dan mengobrol santai, tadinya kami mau sekalian ke puncak 3, namun karena waktu yang mepet, niat itu kami urungkan. Setelahnya, kami turun dan packing untuk pulang. Setelah itu kami turun dan bertemu kembali dengan rombongan TR, tidak lupa kami mengucap salam karena telah memandu kami. Selanjutnya kami pulang menuju terminal kp rambutan dengan menggunakan bis malam.
Sebenarnya pada perjalanan ke gunung Guntur ada kejadian cukup berkesan yang saya alami bersama teman wanita satu kelompok, namun kejadian itu tidak dapat saya ceritakan disini karena dapat berefek timbulnya rasa iri di hati pembaca. Sekian.