Seorang sahabat Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah bin Amr bin Ash adalah sosok ahli ibadah. Abdullah seolah tidak pernah beristirahat. Ia menghabiskan waktunya untuk puasa, shalat wajib maupun sunnah.
Saking rajin beribadah, Abdullah kurang memperhatikan keluarga, terutama istrinya. Dalam urusan hubungan suami istri, Abdullah cenderung abai. Hal ini menyebabkan sang istri merisaukan apa yang dilakukan suaminya.
Melihat prilaku Abdullah yang hanya selalu rajin shalat, istri Abdullah sowan kepada Nabi Muhammad SAW. Di depan Nabi, Istri Abdullah mengeluhkan perilaku suaminya yang lebih mementingkan ibadah dibanding dirinya.
Setelah mendengar keluhan istri sahabatnya itu, pada suatu hari Nabi Muhammad memanggil Abdullah ke kediamannya. “Abdullah, apa betul dirimu selalu tekun beribadah sholat, puasa dan berdzikir?.”tanya Rasullah mengklarifikasi.
“Iya betul Ya Rasulullah. Saya tiap malam shalat tahajud, berdzikir tiap malam,” jawab Abdullah.
“Apa betul dirimu tidak pernah beristirahat dan tidak pernah ‘mengumpuli’ istrimu,” tanya Nabi Muhammad menimpali.
“Betul Rasulullah. Saya menunaikan ibadah seperti ini untuk menjalankan sunnah Nabi,” jawab Abdullah.
Mendengar jawaban demikian, Rasulullah menasihati Abdullah dengan kalimat halus. Rasulullah menyatakan perilaku Abdullah itu berlawanan dengan sunnahnya.
“Abdullah, saya itu juga sering menjalankan ibadah shalat, puasa dan ibadah lainnya. Tapi saya juga istirahat juga ‘berkumpul’ bersama istriku. Kalau dirimu beribadah terus tanpa memberi perhatian istrimu maka tidak kuakui sebagai umatku,” jawab Rasulullah yang dijawab dengan anggukan Abdullah.
Esok harinya, istri Abdullah kembali mendatangi rumah Rasulullah SAW. Ia mengucapkan terima kasih kepada Rasulullah atas perubahan suaminya yang tidak hanya rajin beribadah saja melainkan juga sudah mau memerhatikan dan mengumpuli dirinya.
Islam adalah agama yang lengkap, Islam mengatur semua urusan, mulai dari urusan ibadah, berdagang, bernegara, sampai urusan hubungan suami istri.
Dalam islam, adakah aturan mengenai banyaknya berhubungan intim dalam seminggu?
Dalam islam, tidak ada batasan dalam berhubungan intim dalam seminggu, ini tergantung pada kemampuan dan kesanggupan masing-masing orang.
Namun hubungan intim wajib dilakukan karena merupakan hak masing-masing pasangan. Simak hadist berikut:
Ibnu Qudamah dalam Al Mughni (7: 30)
والوطء واجب على الرجل – أي الزوج بأن يجامع زوجته – إذا لم يكن له عذر ، وبه قال مالك
“Hubungan seks wajib dilakukan oleh suami, yaitu ia punya kewajiban menyetubuhi istrinya selama tidak ada udzur. Demikian dikatakan oleh Imam Malik.”
Ada hadits pula dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, ia berkata bahwa Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehatinya,
« يَا عَبْدَ اللَّهِ أَلَمْ أُخْبَرْ أَنَّكَ تَصُومُ النَّهَارَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ » . فَقُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَلاَ تَفْعَلْ ، صُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، فَإِنَّ لِجَسَدِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِعَيْنِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْجِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَإِنَّ لِزَوْرِكَ عَلَيْكَ حَقًّا
“Wahai Abdullah, benarkan aku dapat kabar darimu bahwa engkau terus-terusan puasa dan juga shalat malam?” Abdullah bin Amr bin Al Ash menjawab, “Iya betul wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Jangan lakukan seperti itu. Engkau boleh berpuasa, namun ada waktu tidak berpuasa. Engkau boleh shalat malam, namun ada waktu untuk istirahat tidur. Ingat, badanmu punya hak, matamu punya hak, istrimu juga punya hak yang mesti engkau tunaikan. Begitu pula tenggorokanmu pun memiliki hak.” (HR. Bukhari no. 1975).
Dalam Fathul Bari (9: 299) disebutkan perkataan Ibnu Batthol,
وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يُجْهِد بِنَفْسِهِ فِي الْعِبَادَة حَتَّى يَضْعُف عَنْ الْقِيَام بِحَقِّهَا مِنْ جِمَاع وَاكْتِسَاب
“Hendaklah suami tidak mempersusah diri dalam ibadah sehingga membuat ia lemas untuk menunaikan hak istrinya yaitu kebutuhan seks dan bekerja untuk keluarga.”
Ibnu Hajar juga menyebutkan,
وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاء فِيمَنْ كَفّ عَنْ جِمَاع زَوْجَته فَقَالَ مَالِك : إِنْ كَانَ بِغَيْرِ ضَرُورَة أُلْزِم بِهِ أَوْ يُفَرَّق بَيْنهمَا ، وَنَحْوه عَنْ أَحْمَد ، وَالْمَشْهُور عِنْد الشَّافِعِيَّة أَنَّهُ لَا يَجِب عَلَيْهِ ، وَقِيلَ يَجِب مَرَّة ، وَعَنْ بَعْض السَّلَف فِي كُلّ أَرْبَعٍ لَيْلَة ، وَعَنْ بَعْضهمْ فِي كُلّ طُهْر مَرَّة .
“Para ulama berselisih pendapat bolehkah suami meninggalkan menyetubuhi istrinya. Imam Malik berpandangan, “Jika tidak darurat melakukannya, suami bisa dipaksa berhubungan seks atau mereka berdua harus pisah.” Imam Ahmad juga berpendapat seperti itu. Sedangkan yang masyhur dari kalangan ulama Syafi’iyah, ia tidak wajib berhubungan intim. Ada pula yang berpandangan bahwa wajibnya sekali. Sebagian ulama salaf berpendapat, setiap empat malam, harus ada hubungan seks. Ulama lainnya berpandangan, setiap kali suci dari haidh, sekali hubungan seks.” (Idem)
Ibnu Taimiyah berpendapat,
ويجب على الزوج وطء امرأته بقدر كفايتها ما لم ينهك بدنه أو يشغله عن معيشته ، .. فإن تنازعا فينبغي أن يفرضه الحاكم كالنفقة وكوطئه إذا زاد
“Wajib bagi suami berhubungan seks dengan istrinya sesuai kemampuannya selama tidak mengganggu fisik dan tidak melalaikan dari kewajiban mencari nafkah. Jika ini tidak dipenuhi, maka seorang hakim peradilan bisa memaksanya sebagaimana dalam hal nafkah atau sebagaimana dalam hubungan seks yang berlebihan.” (Al Ikhtiyarot Al Fiqhiyyah, hal. 246).
Akan tetapi jika suami bepergian karena tujuan yang penting (sesuai syari’at), maka diperbolehkan meninggalkan istri beberapa waktu (tidak boleh terlalu lama).
Jika kepergian suami demi kemashalahatan umat muslimin, seperti jihad di jalan Allah, maka boleh meninggalkan istri selama tidak lebih dari empat bulan.
Contohnya, ketika pemerintahan Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu. Umar memberikan waktu bagi para pasukannya untuk pergi meninggalkan keluarganya (istrinya) tidak lebih dari empat bulan. Kalau ternyata sudah mencapai empat bulan, maka pasukan tersebut siap diganti dengan yang lain. (Fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 1078 oleh Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid).
Disadur dari tulisan yang ditulis oleh Al Faqir Ilallah: M. Abduh Tuasikal, MSc dan ceramah KH Sya’roni Ahmadi
Hikmah yang bisa diambil dari kisah ini, perhatian dalam masalah hubungan keluarga juga sama lebih pentingnya dari beribadah kepada Allah. Termasuk pula hubungan suami istri, menjadi kewajiban bersama sehingga tetap terjaga keluarga sakinah, mawaddah warohmah.